Jumat, 11 Maret 2011

Serpih Janji dalam Galaksi


Kita pernah coba menenun jarum jam untuk membendung waktu. Namun kita hanya serpih-serpih rentetan janji yang membaur dalam galaksi. Kita pernah mengikat diri satu sama lain dengan jaring pintalan akar-akar kelam agar takdir kita terpilin sejajar. Namun hembusan nafas Tuhan menguraikannya hingga terkulai dalam ketiadaan.


Kita dicipta sebagai layang-layang yang diterpa hembusan takdir-Nya. Dan bila senar-senar kita masih panjang, bolehkah aku mengaitnya agar tetap bersinggungan dalam satu untaian takdir yang kata Tuhan sebagian boleh untuk kita? Karena aku takkan rela untuk hanya menjadi setitik noktah yang menguning dalam manuskrip masa lalumu. Jika tidak, biar kuurai sendiri ikatan dadung di kakimu agar bisa kau kayuh perahu impianmu. Lalu kuhanyutkan doa ini bersama alirannya hingga bermuara pada masa depanmu.

Waktu ini telah menjadi milikmu, karena kita hampir usai. Dan aku tahu meski mata yang berkaca-kaca ini takkan membuat kita terkunci di tengah derasnya arus waktu, namun bolehkah setetes air mata ini untukmu, sahabatku?


Sukoharjo, Februari 2009


Puisi yang kubuat semasa kelas tiga SMA. Puisi yang paling mencurahkan emosi yang pernah kubuat. Kutulis saat pelajaran masih berlangsung. Entah pelajaran apa, aku lupa. Aku akui, aku memang bukan siswa teladan yang patut dicontoh. Apalagi semester akhir di sekolah, aku sudah jenuh memerhatikan papan tulis. Buku catatan cuma berisi gambar dan coretan tak jelas. Wajar kalau teman sebangkuku jengkel dengan sikap seenakku. Tapi jadi sedikit bandel, rasanya enak juga.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar